Subprime, Subprim, Supri dan Supir (1)

Di dekat toko istri saya ada sebuah warung soto betawi. Karena sedikitnya alternatif makanan lain di daerah itu, saya lumayan sering makan di sana jika kebetulan sedang iseng “nengokin” toko istri saya. Minggu lalu, ketika saya sedang makan di sana, kuping saya menangkap pembicaraan si penjaga warung (namanya Supri) dengan seseorang pengunjung warung lainnya. Jika saya lihat, sepertinya orang itu adalah supir mobil delivery Aqua. Begini kira-kira sepenggal percakapan mereka yang tertangkap oleh saya :

Supir: Pri, gak salah nih soto lu naik harga?

Supri: Yah, gimana dong? Harga belanjaan naik terus, mas. Daging naik, santan naik, semua naik.

Supir: Ah, tambah susah aja hidup. Heran, orang amerika yang subprim, kita yang ketiban sialnya ya.

Butuh beberapa detik sebelum saya sadar bahwa subprim yang diomongin mas supir itu adalah Subprime Mortgage di Amerika. Ketika itu saya lalu berpikir “Hebat ya subprime mortgage Amerika, bisa sampai menjadi topik pembicaraan berbagai lapisan masyarakat di Indonesia“.

—–oOo—–

Meskipun boleh dikatakan semua orang sudah pernah mendengar tentang krisis Subprime Mortgage, kebanyakan orang hanya tahu bahwa “Amerika sedang krisis properti subprime” tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ditanyakan apakah mereka tahu “jalan cerita” sebenarnya dari krisis Subprime ini, kemungkinan banyak yang hanya bisa menggelengkan kepala.

Kalau saya ditanya apa penyebab krisis subprime, mungkin salah satu yang akan saya salahkan adalah pola pikir yang seperti saya quote dari Mark Twain di atas. Mirip dengan Mark Twain, banyak orang yang memegang mantra “beli properti tidak mungkin rugi”. Tentunya ini tidak benar karena salah satu hukum dasar investasi adalah bahwa setiap investasi pasti mengandung resiko, dan investasi properti pun tidak bisa lepas dari hukum ini.

—–oOo—–

Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Amerika, kita harus kembali ke tahun 2001. Pada saat itu, the Fed (Bank Sentral USA) menurunkan suku bunga secara drastis, hingga ke 1%. Alasan utama dari the Fed untuk menurunkan suku bunga ini adalah untuk menggenjot kondisi perekonomian Amerika yg waktu itu dalam keadaaan resesi (pertumbuhan ekonominya minus).

Dalam ekonomi, penurunan suku bunga, pada umumnya akan membantu pertumbuhan ekonomi. Mengapa begitu? Ini karena:

  • Minat menabung turun

Karena bunga tabungan turun, akibatnya minat orang untuk menabung menjadi rendah. Mereka akan berpikir “ah, menabung juga bunganya kecil, lebih baik uangnya saya pakai untuk yg lain (investasi atau juga konsumsi)“. Mengalirnya uang dari tabungan masyarakat ke investasi dan juga konsumsi akan mendorong belanja masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

  • Minat untuk mengambil pinjaman/kredit bertambah

Turunnya suku bunga kredit/pinjaman membuat perusahaan maupun individu lebih banyak mengambil pinjaman/kredit dari bank. Perusahaan perusahaan akan bisa mengambil pinjaman dari bank untuk ekspansi usaha mereka, karena bunga pinjaman rendah sehingga tidak membebani operasi perusahaan. Orang-orang juga akan lebih berani mengambil dan memakai kredit konsumsi, spt misalnya kredit kendaraan bermotor dan bunga kartu kredit. Belanja masyarakat (dengan kredit konsumsi ini) ditambah dengan ekspansi oleh perusahaan akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

—–oOo—–

Kedua dampak yang saya sebutkan di atas terjadi juga dalam ekonomi Amerika. Tingkat suku bunga yg amat rendah saat itu (1% dan merupakan tingkat terendah sepanjang sejarah Amerika), menyebabkan tingkat bunga utk Mortgage (kalau kita di Indonesia menyebutnya KPR), menjadi sangat rendah juga. Orang-orang menjadi tertarik untuk membeli rumah dengan KPR, baik untuk dipakai sendiri ataupun untuk investasi.

Perusahaan pengembang properti pun bisa mendapatkan akses pinjaman murah dari bank untuk mengembangkan usahanya. Hal ini mempermudah mereka untuk berekspansi. Perlu kita ingat, dalam sektor properti, pembuatan produknya memerlukan waktu yang cukup lama, karena konstruksi memerlukan waktu yg relatif panjang (cuma orang Indonesia yg bisa bikin 999 candi dalam 1 malam). Akibatnya, minat masyarakat amerika untuk membeli rumah yg begitu tinggi (krn bunga KPR yg rendah), tidak bisa diserap sepenuhnya oleh perusahaan pengembang properti, sehingga harga properti naik. Kenaikan harga properti semakin meningkatkan minat masyarakat amerika untuk membeli properti, yg kemudian semakin meningkatkan harganya. Siklus ini pun berulang-ulang sehingga mendongkrak harga properti secara drastis.

Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Amerika adalah salah satu yang paling konsumtif di dunia ini. Sbg contoh, tingkat tabungan mereka pd thn 2005 adalah MINUS 0,5% dari pendapatan mereka. Artinya, konsumsi mereka malahan lebih besar daripada pendapatan mereka. Kenaikan harga properti yang terjadi pada masa ini lalu dimanfaatkan oleh masyarakat Amerika sebagai tambahan “income”. Bagaimana caranya?

Mereka melakukan sesuatu yg disebut “re-financing”. Dengan re-financing, meskipun sebenarnya rumah itu belum mereka jual (krn mereka berharap harganya masih akan terus naik), tetapi kenaikan harga ini sudah mereka “nikmati”, dengan cara mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yg sama. Uang ini mereka pakai, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi kembali di properti yang lain karena tergiur kenaikan harga properti yg drastis. Ujung-ujungnya ini membuat harga properti semakin ‘menggila’

—–oOo—–

Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang akan ikut memberikan “sumbangan” terhadap krisis Subprime Mortgage.

Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Bagi institusi keuangan, mengucurkan KPR memang sangat menarik, karena jangka waktu pinjaman yg relatif panjang (bisa mendapat bunga utk periode yg lebih lama), serta adanya jaminan berupa rumah. Tetapi seiring waktu, dalam prakteknya mulai timbul beberapa ekses buruk.

Dalam rangka menjaring customer yg lebih banyak dan keuntungan yg lebih tinggi, mereka mulai menerima prospek yg sebenarnya secara finansial kurang mampu, dan tidak layak untuk mengambil KPR (misalnya penghasilan kecil dan tidak tetap). Tetapi institusi keuangan pada saat itu tidak berkeberatan, karena mereka tetap mempunyai jaminan rumah, dan berasumsi pasar properti akan naik terus.

Perkembangan kedua yang terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yg disebut ARM (Adjustable Rate Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan mengembangkan ARM, yg pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya dalam 2-3 tahun pertama sangat murah, tetapi pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa.

Banyak konsumen sektor properti yang lalu tertarik untuk mengambil KPR jenis ARM ini karena tergiur bunga awal yg sangat rendah. Pertimbangan tambahan mereka adalah, sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi, dan properti itu sudah akan mereka jual ataupun mereka bisa melakukan “refinancing” lagi dengan mengandalkan kenaikan harga itu.

Perkembangan ketiga yang terjadi adalah adalah maraknya pasar CDO. Karena pasar KPR yg begitu aktif dan berkembang, institusi keuangan pun agak “kewalahan” untuk mengumpulkan dana yg bisa dipakai untuk memberikan KPR. Apa jalan keluarnya? Mereka pun mengembangkan produk yg namanya CDO (Collateralized Debt Obligation). Apa sih CDO ini? Secara sederhana, CDO adalah obligasi. Dasar dari penerbitan obligasi CDO ini adalah KPR yg telah dikucurkan oleh bank ataupun institusi keuangan lainnya. Bunga yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO adalah bunga yang mereka dapat dari kredit KPR yang telah mereka kucurkan.

Dana yg didapat oleh institusi keuangan dari hasil penjualan obligasi CDO ini, lalu mereka kucurkan lagi utk memberikan KPR, yang lalu mereka pakai untuk menerbitkan obligasi CDO lagi. Siklus ini kemudian juga terjadi berulang-ulang.

Sampai titik ini, kita telah melihat latar belakang dari berbagai kejadian yang kemudian akan menimbulkan krisis di saat ini. Bagaimana berbagai kejadian di atas saling “berkombinasi” sehingga menimbulkan cerita “horor” krisis Subprime Mortgage akan saya ceritakan di bagian ke-2 dari seri post ini.

bersambung ke bagian ke 2

Written by Edison Ong @ JanganSerakah.com

No comments: